Sabtu, 15 Oktober 2011

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi MUhammad SAW:

اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”

Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.

وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ

“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ

“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.

Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ

“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”

Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

KH Nuril Huda
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Tulisan asli bisa di lihat di SINI

Baca Selengkapnya...

Minggu, 05 Juni 2011

Jangan Menilai Buku dari Sampulnya

oleh H. Asep Rahmat Buldani, Lc
Suatu hari sepulang dari kampus saya bersama teman mampir ke salah satu masjid. Sambil menunggu adzan Ashar saya pun ngobrol-ngobrol dengan teman saya. Ketika ngobrol itu seorang polisi berpangkat biasa (kalau tidak bilang rendahan) menghampiri saya. Si polisi itu berkata "min malaysia" (dari Malaysia) "la'ah, ana min indunisia" (bukan, saya dari Indonesia) jawabku. "indunisi ahsanannas" kata si polisi itu basa-basi, saya pun ngobrol ngalor ngidul sampai ia bertanya kuliah dimana, saya jawab "saya kuliah di al-Azhar" "tingkat berapa?" tanyanya lagi "alhamdulillah sekarang saya dan kawan di pasca sarjana" tiba-tiba tiba si polisi itu mengernyitkan dahi melirik kawan saya dan berkata ”Mahasiswa Al-Azhar kok begitu, apa kalian tidak belajar kesopanan berpenampilan?" saya dan teman hanya tersenyum tidak menjawabnya.


Lalu di akhir obrolan itu teman saya bilang "kalau dengan rambut gondrong tersebut saya masih! tetap bisa menerapkan nilai-nilai kesopanan dan keislaman, kenapa harus dipermasalahkan sedemikian serius?". Waktu itu saya dan teman memakai kaos/t-shirt dan celana jeans, bedanya rambut saya sedikit pendek kalau teman saya agak gondrong, sehingga si polisi tadi menilai demikian. Menurutnya kami harusnya berpeci dan berpakaian kaya ustad supaya kelihatan sopan (wiiih jadi berabe).

Sebulan kemudian saya baca sebuah berita online tanah air, ada seorang ustad –berpenampilan dan berpakaian rapih, namanya juga ustad- berbuat (maaf) cabul kepada siswanya. Astagfirullah saya kaget, saya bertanya-tanya bagaimanakah penilaian kita sebelumnya kepada si ustad tadi?. Saya kira kita menilainya baik.
Begitulah, penilaian luar yang bersifat kasat mata. Penilaian yang terkadang kelihatan bagus, tapi nyatanya sangat bejad. Kalau kita bandingkan objek pertama dengan kedua ini sangat kontras. Objek pertama yaitu teman saya, walaupun gondrong jangankan untuk berbuat tidak senonoh, ketemu dengan lawan jenis saja wajahnya sering menunduk. Bandingkan dengan objek yang kedua si ustad tadi. Ada ketidak sesuaian yang kita indra dari kedua objek tadi. Namun begitulah realitanya semuanya serba aneh kalau dilihat secara sekilas dan kita tilai secara hitam putih.
Hidup ini tidak bisa diwakili dengan warna hitam dan putih yang hanya bisa dilihat dari luar saja. Masih banyak warna lain disana. Sayangnya, sebagian kita begitu saklek memahaminya. Akhirnya, hidup ini jadi begitu miskin dan penuh dengan syak dan duga.
Sikap-sikap semacam Syak, duga, dan kecurigaan itu disebabkan karena penilaian dari luar saja. Menilai baik karena perawakan dan penampilan, menilai buruk karena keadaan dan rupa keseharian. Dan penilaian itu tidak didasari oleh pengetahuan lebih dekat dari unsur dalamnya.
Orang pernah bilang, “Dont judge the books from its cover!”. Wajah sebuah buku adalah sampulnya, tapi menilai isi buku hanya dengan melihat sampulnya saja tentu bermasalah. Begitupun kalau kita hanya menilai seseorang dari luarnya saja maka yang ada adalah penilaian semu, dan ini akan lebih bermasalah. Dikatakan bermasalah karena penilaian luar cenderung bersifat simbolisasi, sehingga semua itu membuat kita buta pada keindahan nilai dalam.
Seorang kawan di Madrasah Aliyah pernah bertanya waktu debat kandidat ketua asrama, "kandidat yang lain memakai peci, mengapa anda tidak memakai peci?" si kandidat tadi menjawab dengan berkata "saya tidak memakai peci, tapi hati saya tetap berpeci, coba anda lihat para pejabat bangsa kita yang banyak berpeci, mereka hampir semuanya korupsi". Sangat jelas, semuanya akan kelihatan hitam putih kalau hanya dilihat dari luar, tapi kalau dilihat dari dalam ternyata banyak warna yang belum bisa kita lihat keindahan warna-warni unsur dalam itu.
Warna-warni keindahan nilai dalam itu sedikit banyaknya saya dapatkan dari dosen-dosen saya yang kebanyakan berpenampilan sederhana dan tidak berpeci. Saya temukan dari diri beliau-beliau ini kesopanan hakiki yang diselimuti oleh ketawadhuan, bukan kesopanan simbolis yang ternyata di dalamnya bejad seperti berita si ustad di atas.
Saya tentu tidak berani menjamin yang berambut gondrong adalah orang baik-baik atau sebaliknya, sebagaimana saya pun tidak bisa memastikan setiap mereka yang berjuluk ustad pastilah orang alim juga sebaliknya. Tapi yang mau saya katakan adalah penilaian luar terkadang bisa menipu. Jadi janganlah menilai hanya dari luar saja persis yang orang bilang Dont judge the books from its cover !!, tul gak...:-)

Wallahu A'lam Bisshawab

Baca Selengkapnya...

Senin, 04 April 2011

Ma'na Sebuah Jati Diri

Oleh : H. Asep Rahmat *)
Coba kita browsing dan ketiklah kata "jati diri" di WWW.google.co.id. Kita pasti menemukan banyak judul tulisan, namun yang pasti disana akan banyak tertulis "mengembalikan jati diri bangsa", "membangun jati diri bangsa" dan lain-lainya yangintinya adalah pengembalian dan pembangunan yang berhubungan dengan bangsa.

Tapi marilah sejenak, sebentar dan sekejap kita lihat jati diri kita, apakah kita merupakan seseorang yang "berjati diri" membangun dan mengembalikan jati diri bangsanya. Sebelum melangkah lebih lanjut ada baiknya kita jelaskan apa sih jati diri itu?. Langsung saja, "Jati diri adalah sikap atau ekspresi kejiwaan mengenai wilayah dan peran kita di dunia ini". Atau "Jati diri adalah karakter setiap individu yang membuat individu tersebut dapat dibedakan dengan individu yg lainnya".

Saya ambil saja definisi yang kedua yaitu karakter yang membedakan. mengapa ada perbedaan? itu jelas sekali karena hidup ini dipenuhi oleh banyak perbedaan, namun dalam perbedaan itu terkadang kita sama dengan orang lain, tapi di satu sisi kita berbeda dalam artian kita lebih unggul dengan orang lain. Sesuatu yang membuat unggul itu tidak lain adalah sikap dan karakter kita dalam hidup dan kehidupan ini.

Karakter itu tidak akan pernah muncul dengan sendirinya, ia harus terus kita pupuk sehingga dengan sering kita pupuk akhirnya kita akan mengenali diri kita secara utuh. Namun, ada beberapa masalah bagi kita yang selalu menghantui dalam mengenali diri kita secara utuh, pertama dan ini merupakan Permasalahan utama yang sering timbul dan menghambat untuk mengenali diri kita ini adalah kemampuan diri untukberdiri secara "jujur, obyektif dan adil" dalam memberikan pandangan terhadap diri sendiri. Kita sering berbohong dengan keadaan kita, kita tak pernah jujur dengan wilayah dan peran kita.

Kita sering lupa, pura-pura lupa atau bahkan melupakan siapa kita sebenarnya. Kita sering menutup-nutupi keadaan dengan memunculkan sesuatu yang bertolak belakangdengan kenyatan. Tidak begitu sulit untuk mencontohkan semua ini, lihatlah bangsa kita mengapa jati diri bangsa kita (yang perlu kita kembalikan seperti banyak tulisan yang saya cari tadi), kebanyakan dari kita, pemimpin-pemimpin kita dan masyarakat kita tidak objektif dan adil pada bangsanya sendiri. Bangsa kita masih carut marut tetapi sebagian dari kita hidup dalam kemunafikan, hidup dalam ketidakpercayaan pada bangsanya sendiri.

Yang kedua kita sering lupa dengan tujuan kita, padahal mengetahui tujuanhidup merupakan simbol dari sebuah jati diri yang betul-betul siap dalam mengarungi kehidupan ini. Saya teringat perkataan Thomas Carlyle "Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus"(Thomas Carlyle). Terkadang kita menginginkan sebuah kemajuan tapi nyatanya kita belum siap menerima kemajuan itu karena kita tidak tahu untuk apa hasil dari kemajuan itu. Untuk rakyatkah, untuk masyarakatkah untuk kekuasaankah, kalau untuk rakyat mengapa rakyat yang selalu jadi korban?.

tujuan itu tentu bukan hanya sekedar tujuan jangka pendek, tetapi disini adalah tujuan yang besar dan mulia yaitu tujuan yang tercermin dalam sebuah firmannya "dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah" (QS.adz-Dzariyat 56). inilah mengapa manusia banyak yang lupa akan jati dirinya, siapa ia, mau kemana ia, dari mana ia dan mau kemana ia.

apakah kita termasuk orang yang lupa bahkan tidak tahu terhadap jati diri kita, hanya kita yang mengetahui jawabannya.
* Alumni PKU

Baca Selengkapnya...