Minggu, 05 Juni 2011

Jangan Menilai Buku dari Sampulnya

oleh H. Asep Rahmat Buldani, Lc
Suatu hari sepulang dari kampus saya bersama teman mampir ke salah satu masjid. Sambil menunggu adzan Ashar saya pun ngobrol-ngobrol dengan teman saya. Ketika ngobrol itu seorang polisi berpangkat biasa (kalau tidak bilang rendahan) menghampiri saya. Si polisi itu berkata "min malaysia" (dari Malaysia) "la'ah, ana min indunisia" (bukan, saya dari Indonesia) jawabku. "indunisi ahsanannas" kata si polisi itu basa-basi, saya pun ngobrol ngalor ngidul sampai ia bertanya kuliah dimana, saya jawab "saya kuliah di al-Azhar" "tingkat berapa?" tanyanya lagi "alhamdulillah sekarang saya dan kawan di pasca sarjana" tiba-tiba tiba si polisi itu mengernyitkan dahi melirik kawan saya dan berkata ”Mahasiswa Al-Azhar kok begitu, apa kalian tidak belajar kesopanan berpenampilan?" saya dan teman hanya tersenyum tidak menjawabnya.


Lalu di akhir obrolan itu teman saya bilang "kalau dengan rambut gondrong tersebut saya masih! tetap bisa menerapkan nilai-nilai kesopanan dan keislaman, kenapa harus dipermasalahkan sedemikian serius?". Waktu itu saya dan teman memakai kaos/t-shirt dan celana jeans, bedanya rambut saya sedikit pendek kalau teman saya agak gondrong, sehingga si polisi tadi menilai demikian. Menurutnya kami harusnya berpeci dan berpakaian kaya ustad supaya kelihatan sopan (wiiih jadi berabe).

Sebulan kemudian saya baca sebuah berita online tanah air, ada seorang ustad –berpenampilan dan berpakaian rapih, namanya juga ustad- berbuat (maaf) cabul kepada siswanya. Astagfirullah saya kaget, saya bertanya-tanya bagaimanakah penilaian kita sebelumnya kepada si ustad tadi?. Saya kira kita menilainya baik.
Begitulah, penilaian luar yang bersifat kasat mata. Penilaian yang terkadang kelihatan bagus, tapi nyatanya sangat bejad. Kalau kita bandingkan objek pertama dengan kedua ini sangat kontras. Objek pertama yaitu teman saya, walaupun gondrong jangankan untuk berbuat tidak senonoh, ketemu dengan lawan jenis saja wajahnya sering menunduk. Bandingkan dengan objek yang kedua si ustad tadi. Ada ketidak sesuaian yang kita indra dari kedua objek tadi. Namun begitulah realitanya semuanya serba aneh kalau dilihat secara sekilas dan kita tilai secara hitam putih.
Hidup ini tidak bisa diwakili dengan warna hitam dan putih yang hanya bisa dilihat dari luar saja. Masih banyak warna lain disana. Sayangnya, sebagian kita begitu saklek memahaminya. Akhirnya, hidup ini jadi begitu miskin dan penuh dengan syak dan duga.
Sikap-sikap semacam Syak, duga, dan kecurigaan itu disebabkan karena penilaian dari luar saja. Menilai baik karena perawakan dan penampilan, menilai buruk karena keadaan dan rupa keseharian. Dan penilaian itu tidak didasari oleh pengetahuan lebih dekat dari unsur dalamnya.
Orang pernah bilang, “Dont judge the books from its cover!”. Wajah sebuah buku adalah sampulnya, tapi menilai isi buku hanya dengan melihat sampulnya saja tentu bermasalah. Begitupun kalau kita hanya menilai seseorang dari luarnya saja maka yang ada adalah penilaian semu, dan ini akan lebih bermasalah. Dikatakan bermasalah karena penilaian luar cenderung bersifat simbolisasi, sehingga semua itu membuat kita buta pada keindahan nilai dalam.
Seorang kawan di Madrasah Aliyah pernah bertanya waktu debat kandidat ketua asrama, "kandidat yang lain memakai peci, mengapa anda tidak memakai peci?" si kandidat tadi menjawab dengan berkata "saya tidak memakai peci, tapi hati saya tetap berpeci, coba anda lihat para pejabat bangsa kita yang banyak berpeci, mereka hampir semuanya korupsi". Sangat jelas, semuanya akan kelihatan hitam putih kalau hanya dilihat dari luar, tapi kalau dilihat dari dalam ternyata banyak warna yang belum bisa kita lihat keindahan warna-warni unsur dalam itu.
Warna-warni keindahan nilai dalam itu sedikit banyaknya saya dapatkan dari dosen-dosen saya yang kebanyakan berpenampilan sederhana dan tidak berpeci. Saya temukan dari diri beliau-beliau ini kesopanan hakiki yang diselimuti oleh ketawadhuan, bukan kesopanan simbolis yang ternyata di dalamnya bejad seperti berita si ustad di atas.
Saya tentu tidak berani menjamin yang berambut gondrong adalah orang baik-baik atau sebaliknya, sebagaimana saya pun tidak bisa memastikan setiap mereka yang berjuluk ustad pastilah orang alim juga sebaliknya. Tapi yang mau saya katakan adalah penilaian luar terkadang bisa menipu. Jadi janganlah menilai hanya dari luar saja persis yang orang bilang Dont judge the books from its cover !!, tul gak...:-)

Wallahu A'lam Bisshawab

Baca Selengkapnya...